RSS Feed
Tidak semua yang ku tulis adalah aku, dan tak semua yang kau baca adalah kamu.

Kamis, 27 Maret 2014

Kind of "Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta"

aku tak perlu repot menulis surat cinta padamu, karena semua telah seterang bintang kejora ataupun seperti langit pada bulan purnama. Tak ada cinta di antara kita. Sesugguhnya kita hanya saling menukar sepi dan mengisinya dengan hari-hari yang presisi. Kau dan aku adalah dua manusia yang sedang tidak bahagia. Dua orang yang sedang menjaminkan luka untuk digadai dengan kebahagiaan.
Karena pada mulanya semua adalah luka. Rentetan kisah sedih yang coba disulap menjadi sepotong cinta, namun gagal bahkan setelah berkali-kali mencoba. Bersama mencoba merajut harapan-harapan fiksi dalam kabut realitas yang semu dan tak bisa tertebak lagi.

Atau mungkin tidak. Ini mungkin memang sebuah surat cinta yang ditulis malu-malu dan dirangkai ragu-ragu. Tapi tunggu dulu, aku tak mungkin jatuh dalam dekapan cintamu. Karena sejak dahulu telah berulang-ulang kali diriku kupasangi perisai titanium, sehingga cintamu akan bertekuk lutut bahkan sebelum sempat mengecup.

tapi toh aku memang pemalu, dan kau mungkin seorang peragu. jadi percayakah kau pada waktu? aku sendiri sudah sedari dulu membunuh jenuh dan memilih tidur membisu. Ini mungkin benar-benar surat cinta yang kaku. Yang tidak berbicara soal sayang-sayang melulu.

terima saja, jemariku telah muak menuliskan rindu-rindu pada punggung kokohmu. dia telah berdarah-darah merah dan lelah menggerogoti nadinya sendiri. jangan kau pikir aku cinta, karena kamu tak lebih dari sebongkah permata. kalah jauh dari gemerlapnya berlian.

aku pencemburu ulung yang lebih suka menyepi dalam hening tengah malam. kau lelaki tak tahu malu amatiran yang sesumbar tentang kesetiaan. aku tukang pamer kesenyapan yang pelit perkara senja-senja yang kesepian.

mengingatmu, hanya membersitkan suasana hati yang sebeku badai salju. memikirkanmu terlalu lama mengembalikan ingatan kembali ke titik nol. kau tak lagi bernilai seperti aku yang memang tidak menilai. aku seolah-olah berada di sebuah lorong sempit yang di ujungnya tak ada kamu berdiri. menihilkan semua etikat-etikat baik yang kadang memikirkannya pun aku jijik setengah mati.

kau tak mengerti? sama. aku juga tak menuliskan arti. sejatinya, kata-kata adalah puisi yang telah mati suri. prosa-prosa yang kutulis telah memunafikkan diri sedari tadi. ini hanyalah benar-benar sebuah surat cinta yang diselubungi gengsi tinggi. tak usah kau balas dan segeralah amnesia.

Rabu, 26 Maret 2014

Perjalanan

ada banyak pelajaran yang bisa kau pelajari dari sebuah perjalanan.

perjalanan mempertemukanmu dengan banyak orang asing yang tak lama lagi kau panggil teman, sahabat, saudara, kekasih, atau mungkin musuh abadi. Dalam perjalanan kau mungkin saja bertemu dengan lelaki melancholis dalam ekspresi kebahagiaan yang terlalu nyata atau perempuan sanguinis yang menampilkan kesedihan buat-buatan. perjalanan memberimu sebuah misteri yang kadang hanya perlu kau cicipi dan mengambil saripati.

perjalanan menyuguhkanmu berbagai rintangan. mulai dari jalan pulang yang penuh kerikil-kerikil dan berlika-liku ibarat labirin, mengarungi samudera luas yang tak kelihatan ujungnya dan kau harus berkali-kali meyakinkan diri bahwa samudera ini pasti bertepi, bolak-balik berlari diatas cinta-cinta yang penuh duri sambil bertelanjang kaki, sebelum kau sempat menyadari sakit hati yang meninggalkan perih, hingga menerobos terik matahari karena -entah muncul dari mana- ada keyakinan yang begitu mencengkeram bahwa kau akan menemui kota kebahagiaan jika terus melangkah, meski kau tak tahu arah.

perjalanan tak pernah pilih kasih. suatu hari kau diantarkannya pada keramaian pesta yang membuatmu gigit jari. hari esok kau diantarkan pada goa sepi tempat merenungkan diri. tak ada yang tahu pasti dimana perjalanan ini akan berakhir. sekali lagi, perjalanan adalah bagian dari misteri itu sendiri.

ditengah perjalanan, mungkin kau akan bertemu dengan penulis yang penanya lebih tajam dari pada belati, dengan penyair yang puisi-puisinya lebih sering membuatmu melayang lupa diri, dengan pendongeng yang tertidur akibat cerita sendiri, dengan pelukis yang kanvasnya penuh dengan tinta hitam putih, dengan pemahat yang jari-jarinya patah dan kehilangan mimpi-mimpi, dengan peselancar yang lebih merindukan senja yang romantis ketimbang ombak-ombak ganas memunculkan diri.

ucapkan salam pada mereka yang kau temui, dan teruslah berjalan hingga habis cinta terkikis.

Kamis, 20 Maret 2014

Penunggu Mading Fakultas

Sore ini aku sedang dibungkus hangat. Mungkin bagi mereka yang tak percaya pada kekuatan cinta akan menudingku berlebihan. Aku sedang menggenggam hatiku demikian eratnya kali ini. Takut debar debar kebahagiaan yang tak bisa aku tahan lajunya, membuat hatiku melompat keluar dan tak bisa kembali ke asal. Tahukah kamu? dari balik mading fakultas, aku mengagumi setiap tingkah lugumu. Kau adalah salah satu alasanku bersemangat melajukan motorku ke kampus setiap paginya.

Sore ini, lagi-lagi, aku menikmati sosokmu dari balik mading fakultas. Senyumku tak berhenti melengkuh sementara bibirku kebas dalam rasa yang tak mau terkikis habis. Sebulan yang lalu, aku telah resmi menjadi 'Penunggu Mading Fakultas'. Tak ada rasa bosan yang hadir ketika aku sedang menontonmu melenggang di sepanjang koridor bersama teman-temanmu dari kejauhan. Seperti teduhnya menikmati rintik hujan yang jatuh ke tanah satu per satu sembari menyesap secangkir kopi. 

Aku tak pernah segila ini sebelumnya. Hanyut dalam denting piano yang memainkan nada penantian. Menikmati setiap detik yang dicipta waktu dengan memujamu dari kejauhan. Kau tak akan percaya, siluetmu ketika tertawa memecah debar dengan seketika. Jika cinta yang membuat aku manjadi gila, katakan pada dunia, aku tak ingin disembuhkan.

Jika poster-poster di belakangku bisa bicara, mungkin mereka telah lama mengeluh kebosanan. Menonton punggungku yang begitu-begitu saja di setiap penghujung senja. Tak ada dialog yang terdengar, semua serba kesunyian atau sesekali ditemani lantunan gerimis. Kuharap mereka bisa bersabar lebih lama. Mungkin besok, lusa atau entah kapan, telah ada kau berdiri disini menemaniku. Saat ini, aku hanya sedang menyusun bongkahan nyaliku pelan-pelan.


Rerintik hujan menghiasi soreku kali ini. Dinginnya membalut rasa yang sebentar lagi membeku setelah sekian lama ditinggal oleh pemilik. Telah datang hari-hari, dimana cinta tak lagi sehangat dini. Hangatnya memuai bersama kedatangan sepi di hari-hari sendiri. Saatnya menunggu ksatria baik hati datang menghampiri. Membawakanku keranjang besar penuh dengan mimpi-mimpi manis. Dibawah mading fakultas aku berteduh dari hujan yang mengalunkan irama mistis tempat aku menghiburkan diri.

Senja kali ini terlalu cepat menggelapkan diri. Terburu-buru mengundang rembulan untuk menduduki tahta langit bersama bebintang. Padahal aku masih menunggumu disini. Bersama deretan huruf warna-warni yang tak pernah pergi walaupun ingin. Sebentar lagi, hanya sebentar lagi. Biarkan aku berteduh dibawag mading fakultas ini sebentar lagi. Mungkin di menit ke enam belas akan datang pangeran berkuda putih.

Kekasih, lukaku kini telah sembuh dimakan masa. Tak ada lagi dia yang menari-nari di lantai bernama hati dengan menggunakan sepatu dansa penuh duri. Kini saatmu untuk bertamu telah tiba. Datanglah, dan bawakan aku punggung yang akan menjadi tempatku bersandar saat ragu menggiringku berjalan jauh dari kebenaran. Segeralah menyegerakan diri, karena aku tak mau menunggu terlalu lama seperti cerita kemarin.

Tak bisakah rotasi Bumi diperlambat? agar kertas-kertas dibelakangku tak lusuh dimakan jaman. Hingga mereka akan tetap setia menemaniku menunggu. Aku memandang lekat-lekat pintu kaca disebelah sana. Terlalu lekat, sampai berkedip pun aku enggan. Aku memandangi dari jarak yang terlalu jauh dijamah oleh mataku. Sebelum senja benar-benar habis dikikis bulan, masuklah melangkah dari pintu kaca. agar senyumku segera merekah.

Diam-diam, ada cerita yang terajut mesra dari keberadaan mading fakultas. Saat senja masih menjadi tontonan orang-orang dan bulan belum lagi merajuk di beranda jendela meminta perhatian, ada kisah terpilin rahasia dari kumpulan rasa yang berterbaran di sepanjang koridor fakultas. Diam-diam saling memperhatikan. Diam-diam saling menunggu jawaban. Diam-diam saling memberi harapan.

Bertumpuk-tumpuk rindu telah tertancap halus pada permukaan mading fakultas. Ditancapkan rapi oleh para penunggunya yang telah lama saling bertukar kata yang belum tuntas. Permukaan mading fakultas, saksi bisu dari segala sunyi yang dicipta rasa malu-malu untuk saling mengenggam.

Betapa hidup telah menjelma mencadi ibu tiri yang kejam. Memisahkan cinderella dari pangerannya, bahkan sebelum lonceng jam dua belas malam berbunyi lantang. Betapa takdir telah tega mempermainkan kehidupan, menciptakan pandangan yang belum juga saling bertaut hingga sekarang. Betapa semesta telah berubah menjadi labirin yang jahat. menyesatkan dua hati yang telah lama saling mendatangi satu sama lain.

Tuhan, beginikah potret manusia yang saling mendoakan dalam diam? Semoga nasib baik menghampiri mereka berdua.



*catatan penulis: prosa bersama foto di atas tidak lebih dari rekayasa belaka.

Jumat, 07 Maret 2014

Yang Tidak Terucapkan

sebut saja aku hebat. setengah tahun ku pendam rasa ini, sampai sekarang tak juga berani ku bahasakan langsung di depannya. ada rasa gugup setiap kali bersamanya, melihat wajahnya. ada yang tak terucapkan di antara aku dengannya. ada.

berkali-kali selama enam bulan belakangan, telah kucoba merepresi segala perasaan ini. mencoba melupakannya. menganggap semuanya baik-baik saja. mendorongnya jauh ke alam bawah sadar. tetap berinteraksi seperti biasa saja dengannya. seolah-olah biasa saja. seolah-olah tak ada yang terjadi diantara kita. iya semuanya hanya seolah-olah.

aku seakan-akan sedang berdramaturgi. didepannya ku usahakan selalu tersenyum dan memberikan tanda seolah-olah (lagi) aku baik-baik saja. didepannya aku tetap menari dibawah hujan seperti biasanya, aku tetap duduk membaca buku seperti biasanya, aku tetap diam mengamati seperti biasanya. tapi didalam hati? aku bertanya-tanya. kenapa semuanya menjadi seperti saat ini? kenapa semuanya berubah?

seorang kawan pernah berkata. "tersenyumlah, karena senyum akan membawamu pada kondisi yag lebih baik. meskipun itu hanyalah senyum palsu." jadi setiap kali rasa itu hadir menggerogoti kesadaranku, akan ku pasang senyum terbaikku sebagai tameng. berharap perlahan semua akan baik-baik saja. tak pernah kurasa sebelumnya, tersenyum bisa jadi sesulit itu. seakan bibirku kaku, ditarik sedikit saja perih rasanya.

wajahnya, ekspresinya, mimiknya juga tingkah lakunya. semua ku tafsirkan negatif. seakan-akan mereka berbicara kepadaku, bahkan cenderung berteriak lantang. menyuruhku pergi dari kehidupannya. bahwa aku tak dibutuhkannya lagi. bahwa aku adalah parasit yang hanya akan menghambat segala aktifitasnya. bahwa aku hanyalah anak kecil yang tak perlu tahu apa-apa. bahwa akan lebih baik baginya jika keberadaanku tak ada lagi disekitarnya. benarkah seperti itu?

pernah sekali, aku tak tahan lagi memendam semuanya, ku putuskan untuk membuat janji untuk bertemu dan membicarakan semuanya. kami bertemu. semalaman aku telah menyiapkan kata-kata apa saja yang akan kugunakan untuk mengungkapkan semua perasaan ini. hatiku telah mantap. akan kuterima segala resiko yang akan terjadi. tapi, detik pertama kulihat wajahnya, detik itu pula gembok bibirku tertutup rapat. aku tak lagi bisa bersuara.

sebenarnya apa yang salah dari hubungan ini? adakah aku secara tak sengaja menyakitinya?