ini seperti kisah dongeng yang
belum selesai. Sama seperti semua kisah dongeng, dalam kisah kali ini, seorang
pecinta bernama ‘aku’, berjuang merebut hati anak manusia bernama ‘kamu’. Tapi
perjuangan kali ini berbeda, kali ini bukan tentang perjuangan bak ksatria
penunggang kuda dengan tombak di tangan kirinya, dan yang kanan sibuk mengatur
laju kuda, bukan! Bukan juga tentang perjuangan pangeran charming yang
menerobos benteng yang di jaga oleh naga untuk membangunkan si putri tidur,
bukan! Bukan juga tentang perjuangan pria gagah berani, dengan otot yang telah
melebihi kapasitas, menghalau setiap preman yang menganggu kekasihnya, bukan!
Bukan tentang perjuangan seperti itu. Ini tentang perjuangan ‘aku’ yang
berjuang meyakinkan diri untuk menunggu ‘kamu’ menyatakan cinta. Ini perjuangan
lewat bahasa diam. Lewat kebutaan dan kebisuan, yang di lakukan ‘aku’ untuk
mempertahankan ‘kita’.
Dalam perjuangannya sang Aku selalu mengisi malamnya dengan ingatan dan kenangan. Ingatan tentang si’kamu’ yang telah lama ini tak pernah lagi berada dipenglihatannya. Juga kenangan tentang bagaimana dulu ‘kamu’ pernah menenangkan sedih 'aku'. Di tengah ingatan dan kenangan, sang ‘aku’ masih tetap ingin meperjuangkan perasaannya, perasaan yang tanpa syarat. Perasaan yang bahkan tak dipahami oleh ‘aku’. Perasaan yang sering di sebut dengan ‘cinta’. Perasaan yang menghadirkan rindu di masa lama tak bertemu, menghadirkan cemburu di saat lama tak diperhatikan, juga perasaan yang menghadirkan cemas di kala tak berkabar.
Ketika kabar tentang ‘kamu’
datang lewat pesan-pesan singkat, sang ‘aku’ hanya bisa menahan rindu. Rindu
yang telah berlarut-larut tertimbun hingga mengalir di air mata. Air mata yang
tak akan pernah terungkap pada si ‘kamu’. Air mata yang selamanya mengalir
dalam qalbu. Air mata yang tak akan pernah keluar dalam kata-kata. Rindu
sepihak.
Doa-doa yang keluar dari mulut
sang ‘aku’, berbeda dengan doa-doa yang terlontar melalui kata-kata si ‘kamu’.
Doa-doa tentang kekhawatiran ‘aku’ yang mungkin tak pernah terfikirkan oleh ‘kamu’.
Adalah ketakutan yang membungkam sang ‘aku’, hingga pada akhirnya semua doa,
air mata, rasa rindu, cemas, dan khawatir tak pernah sampai ke telinga si
‘kamu’. Ketakutan akan kepantasan si ‘kamu’ untuk di perjuangkan oleh sang
’aku’. Ketakutan akan ketidakpastian, jika perjuangan sang ‘aku’ untuk merebut
hati si ‘kamu’, tidak akan berakhir pada ‘kita’ yang bahagia.
ketakutan jika ternyata
kebersamaan selama ini antara sang ‘aku’ dan si ‘kamu’ akan ternodai ketika segalanya telah terungkap.
Sudah terlalu sering sang ’aku’
memaafkan ketidak hadiran si ‘kamu’, juga terlalu banyak maklum yang diberikan
sang ‘aku’ atas kesalahan-kesalahan si ‘kamu’, serta sudah terlalu banyak
senyum yang dihadirkan sang ‘aku’ disaat tangislah yang sebenarnya ingin
mengalir.
Pertanyaannya, masihkah ‘kamu’
pantas untuk diperjuangkan oleh ‘aku’ ?
0 komentar:
Posting Komentar