RSS Feed
Tidak semua yang ku tulis adalah aku, dan tak semua yang kau baca adalah kamu.

Senin, 22 April 2013

Api dan Air


Di sebuah hutan belantara di negeri antah berantah, kebakaran besar terjadi. Kebakaran itu membumi hanguskan semua pepohonan. Apinya melambung tinggi. Membakar semua yang dilewatinya. Kebakaran hutan kini semakin menjadi-jadi. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah kobaran api. Semakin tinggi dan meninggi tanpa ada yang membatasi.

Beberapa saat kemudian hujan turun dengan perlahan. Rintik demi rintik, tetes demi tetes jatuh membasahi tanah. Perlahan sang hujan bertambah deras. Dengan kecepatan lambat kobaran api pun padam oleh tetesan hujan. Kini, tak ada lagi dedaunan hijau, yang ada hanyalah ranting-ranting gosong. Sekarang tidak ada lagi hutan tropis yang meneduhkan, yang ada hanya kumpulan pohon gersang terbakar.


Ternyata tidak. Seusai hujan turun, masih tersisa sekecil api mungil yang masih bertahan. Sang api terlihat berusaha bertahan agar tetap hidup dengan membakar kayu di sekelilingnya. Membuat kayu menjadi abu hanya untuk dapat terus hidup.

Tidak jauh dari tempat si api kecil, terdapat sebuah genangan air yang juga kecil. Genangan air tersebut bergerak perlahan. Membentuk siluet seorang gadis kecil lengkap dengan dua kunciran rambut di sebelah kiri dan kanan. Si air melangkah riang dengan sedikit lompatan kecil, mendekati si api. Begitu juga dengan si Api, tapi dengan langkah yang berbeda. Langkah si Api lebih santai dan terkesan berwibawa.

Mereka bertemu di pertengahan sebuah batang pohon. Awalnya mereka hanya saling diam dan menatap mata masing-masing. heran, mungkin. Wajar saja ini adalah kali pertama mereka bertemu. Kali pertama air dan api bersua. Pernah dengar tentang konsep cinta pada pandangan pertama? Seperti inilah mungkin kisahnya. Si api dan air sama-sama jatuh pada cinta di pandangan pertama mereka. Rupanya proses saling memandang tadi telah menimbulkan percikan rasa di hati masing-masing.

Kini mereka memutuskan untuk menjalani hidup bersama. Berpetualang mengelilingi bumi bersama-sama. Bergandengan tangan menghadapi hari-hari selanjutnya.

Baru saja mereka memutuskan untuk memulai, masalah telah menghampiri mereka. Ternyata bergandengan tangan bukanlah ide yang baik. Ternyata ketika mereka bersentuhan, mereka akan saling menyakiti. Si Api akan menjadi padam sementara Si Air akan mendidih dan kemudian berubah menjadi uap. Apakah benar mereka tidak akan pernah bisa bersama ?

Perbedaan sifat tidak lantas membuat mereka menyerah pada keadaan. Mereka mencari akal, agar tetap terus bersama. Mereka memaksa takdir agar membiarkan mereka tetap bersama. Si api sangat cerdas, dia mengambil batu kecil. Batu kecil inilah yang selanjutnya menjadi perantara diantara tangan mereka. Kini mereka tidak akan saling menyakiti lagi dan tetap akan terus bersama. Si Api masih akan terus bersama Si Air tanpa harus takut padam, sementara Si Air juga akan tetap disisi Si Api tanpa harus takut menjadi uap.

Mereka kini mulai berjalan mengelilingi hutan untuk mencari tempat yang bisa mereka tempati untuk sementara waktu. Mereka terus berjalan dan berjalan. Tengah hari yang terik, mereka kecapean. Si Api menyarankan untuk istirahat siang sejenak. Jadilah mereka singgah. Mereka tertidur dengan jarak satu meter yang mengantarainya. Tidur mereka sangat pulas.

Menjelang sore, Si Api terbangun duluan. Reflex ia melihat ke samping untuk memastikan si Air masih tertidur di tempatnya. Si Air masih tertidur, bahkan sangat pulas. Rupanya Si Air sangat kecapean akibat perjalanan mereka tadi. Tapi ada yang aneh dari Si Air. Ukuran Si Air menyusut. Rupanya cuaca yang panas membuat Si Air sedikit demi sedikit menyusut dan menguap, uapnya kini menjadi awan. Si Api yang tidak tega berpisah dengan Si Air secara perlahan seperti ini, pergi mencari pertolongon di sekitar hutan. Apapun akan dia cari dan dia lakukan demi mempertahankan Si Air, agar Si Air tetap bisa hidup di sisinya. Si Api berjanji akan kembali sebelum Si Air sempat terbangun dari mimpinya.

Si Api berlari sekuat tenaga, menyusuri pohon demi pohon. Menerobos hutan yang kini telah menghitam. Di perjalanannya dia bertemu seorang manusia. Si Api mendekati manusia tersebut dengan maksud meminta pertolongan. Bukannya ditolong, manusia malah mengambil Api dan menaruhnya dalam sebuah obor. Manusia membawa obor tadi ke rumahnya lalu memindahkan Si Api ke dalam sebuah lampu Minyak yang dindingnya terbuat dari kaca. Kini Si Api benar-benar telah terpisah dari si Air.  Si Api menyesali keputusannya yang telah meninggalkan Si Air. Hatinya berkata, jika saja  dia tidak meninggalkan Si Air, mungkin kini dia masih bisa bersama Si Air menikmati saat-saat terakhir mereka bersama. Seandainya..

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Kini Si Api meruntuki nasibnya yang terkungkung dalam sebuah lampu minyak. Kebebasannya direnggut oleh dinding-dinding kaca. Kini Si Api terduduk dan tertunduk lesu mengingat Si Air.

Ketika senja mulai berganti gelap..

“tok.. tok.. tok..”

Bunyi dinding kaca lampu yang diketok. Rupanya itu adalah Si Air. Ternyata Si Air selama ini mencari keberadaan Si Api. Bukan main bahagianya Api ketika melihat Air masih berdiri di depannya walau dalam ukuran yang lebih kecil dari sebelumnya. Ingin rasanya Si Api keluar  dan memluk si Air, namun apa daya dia masih terjebak dalam lampu minyak berdinding kaca tersebut. Si Api tak bisa kemana-mana.

Melihat Si Api yang tidak bisa kemana-mana, Si Air memutuskan menemani Api dari luar lampu.  Dia duduk sambil memeluk kakinya berusaha tetap menjauh dari lampu. Suasana di sekitar lampu sangatlah panas, apalagi ketika mengetok dinding kaca lampunya tadi, Air menyusut lebih ceoat dari yang seharusnya. Si air berusaha tetap tersenyum menemani si Api tanpa dilihat oleh si Api kalau sebenarnya Si Air sedang kepanasan luar biasa.

Semakin lama Air semakin mengecil, ukurannya menyusut. Kini Air tidak bisa lagi tertawa bebas, dia hanya bisa terdiam sambil tetap duduk menemani si Api. Si Api yang menyadari itu pun tidak bisa berbuat apa-apa. Si Api bahkan sangat tersiksa, melihat kekasihnya Air menghilang perlahan-lahan karena panas dari dirinya. Dia semakin tersiksa ketika mengetahui bahwa tidak ada yang bisa dilakukannya selain menyaksikan dalam diam.

Detik berlalu, berganti menit. Menit berubah menjadi jam.

Satu jam… Si Air semakin mengecil

Dua jam berlalu.. Si Air kini hampir sepenuhnya menguap

Dua jam lima belas menit.. Si Air telah sepenuhnya menghilang. Berubah menjadi uap. Dan bergabung dengan para awan.

Bukan main terpukulnya Api. Dia mencaci dirinya sendiri karena membiarkan Air menguap di depannya. Sepanjang malam yang dilakukannya hanya bersedih dan meratapi kepergian Si Air.

Ketika matahari mulai bersinar. Kembali bertengger sebagai sang surya, ayam-ayam mulai berkokok. Manusia pun terbangun dari tidurnya. Dia melihat api di lampu minyaknya mengecil, seakan telah lama bertahan agar tidak mematikan dirinya sendiri. karena hari telah menjelang terang, manusia memutuskan untuk mematikan lampu minyaknya.

Dengan sekali tiup, sang api kini berubah menjadi asap. Melayang ke angkasa. Hilang tak berbekas.

Di angkasa sana, Si Api yang telah menjadi asap dan Si Air yang telah bergabung dengan para awan, kembali bertemu. Betapa bahagianya mereka dapat kembali di pertemukan. Tidak ada yang berbeda dari mereka. Cintanya tetap sama. Perasaannya tetap terjaga. Bahkan ditambah dengan rasa rindu yang meminta untuk dibalas. Yang membuat mereka lebih bahagia lagi, kini mereka berada dalam wujud yang sama. Tak ada lagi Api yang memadam jika bertemu dengan Air, dan tak ada lagi Air yang mendidih dan menjadi uap jika bertemu dengan Api. Yang ada hanya mereka yang kini berbahagia dalam selubung cinta.

Pengorbanan yang tulus, terkadang mendatangkan kebahagiaan.

Kita boleh kehilangan segala-galanya kecuali kehilangan harapan. TAMAT :)

0 komentar: