RSS Feed
Tidak semua yang ku tulis adalah aku, dan tak semua yang kau baca adalah kamu.

Jumat, 31 Januari 2014

Hari #1 : sepucuk surat untuk hati di musim semi.

Selamat menunggu senja, Hati.

Aku tahu, kamu pasti heran mendapatkan surat dariku. Kita memang lebih terbiasa berdialektika langsung. Tapi kali ini aku memilih perantara surat. Sengaja, supaya kamu bisa dengan bijak menafsirkan setiap kata-kata yang aku tuliskan. Karena selama kita berdiskusi, biasanya kamu selalu mengintervensi setiap argumenku, tanpa benar-benar mencernanya dengan seksama. Kamu cenderung tak mau mendengar. Jadi kali ini bacalah surat ini baik-baik.

Aku tahu ada perjanjian diantara kita sebelumnya. Kamu punya porsi yang lebih besar dalam mengendalikan pemilik tubuh ini. Kita telah sepakat, pembagiannya 60:40. Tapi akhir-akhir ini aku seakan-akan tak punya andil sama sekali dalam pengambilan keputusan. Kamu melupakan hakku. Aku hanya hadir saat kamu telah sakit. Biar kutegaskan, aku bukan suster! Kalau kamu juga tidak memberikan hakku sesuai perjanjian, aku akan menuntut dilakukan peninjauan kembali. Aku mau perjanjian kita diubah. Itu yang pertama.

Yang kedua, tidakkah kau sadar, kamu kini terlalu mudah melayang. Harusnya kamu mendengarkan nasehatku. Jangan terlalu sering memakan harapan-harapan itu. Kamu kan susah membedakan mana yang palsu dan mana yang asli. Kamu harus lebih jeli. Bukannya aku iri. Aku senang kalau melihatmu melayang dengan wajah berseri-seri. Tapi seringkali kamu jatuh pada hati yang setajam duri, atau kalau tidak kamu malah terjun bebas ke tanah. Karena harapan yang terlalu banyak biasanya efek sampingnya tak enak. Dia menciptakan fatamorgana. Kamu seakan melihat ada tangan yang akan menangkapmu dan memelukmu erat. Padahal itu hanya ilusi semata. Sekali-kali kau harus minum obat pengalaman. Kadang rasa pahitnya bisa membuatmu lebih dewasa.

Yang ketiga, bisakah kamu berhenti memelihara burung-burung pelatuk itu? Sejak kamu memelihara burung pelatuk, aku dan pemilik tubuh ini jadi susah tidur. Aku butuh ketenangan untuk mengelola berbagai informasi serta menganalisis berbagai realitas kekinian. Tapi bagaimana aku bisa tenang, kalau setiap kali 'dia' mengirimkan sms bernada mesra, atau mengelus-elus kepala pemilik tubuh ini, atau setiap kali kenangan-kenangan indah dengannya datang bersama rintik hujan, burung-burung pelatuk itu akan beribu-ribu kali mematuk lebih cepat seakan tak pernah lelah. Iramanya memang menyenangkan. Tapi aku juga butuh ketenangan.
Atau jangan-jangan burung-burung pelatuk itu yang selama ini terbang dan membawamu melayang-layang. Kalau benar begitu, kau benar-benar harus segera melepaskan mereka secepatnya.

Hmm.. mungkin sampai disini dulu suratku. Sebenarnya aku tak mengharapkan balasan. Aku hanya menunggu tindakan yang akan kau ambil. Sekali lagi, pertimbangkanlah dengan seksama semua yang telah ku paparkan diatas.

NB: selamat menunggu senja darinya. Semoga cahaya cantiknya tidak akan menyilaukanmu sampai membuat matamu buta.

Tertanda

Nalar.

0 komentar: