RSS Feed
Tidak semua yang ku tulis adalah aku, dan tak semua yang kau baca adalah kamu.

Selasa, 15 Oktober 2013

untitled



Engkaulah pelita tempat berkumpulnya cahaya harapan.
Engkaulah penujuk jalan yang diselubungi kabut-kabut kepercayaan.
Engkaulah semesta berisi partikel-pertikel cinta kami.
Engkau, dimana segala harapan digantungkan
Padamu, yang segala percaya ditautkan
Untukmu, yang segala cinta diberikan
Wahai, pemerintah :’)
 (catatan kecil yang ditulis disela-sela bingkai kekecewaan-masyarakat)

Aku ingin bercerita. Tentang sebuah kisah yang cocok menyandang predikat ‘miris’ terlebih ‘ironis’. Cerita ini berkisah tentang harapan yang dibumbung tinggi tapi kemudian dijatuhkan. Berkisah tentang rasa percaya yang dijaga sepenuh hati tapi kemudian dihamburkan penuh kesia-siaan. Tentang rasa cinta yang terlalu dalam tertanam tapi justru kabur terseret arus gelombang keserakahan. Kisah ini tentang  yang sering kalian sebut sebagai Masyarakat dengan yang kalian elu-elukan sebagai Pemerintah.

Bagai kain polos tanpa motif Masyarakat punya sejuta harapan, berlapis-lapis kepercayaan, hingga cinta yang terang benderang. Masyarakat berharap memiliki sosok yang bisa dijadikan tempat bersandar dikala susah, sosok yang bisa diandalkan ketika yang lainnya sibuk dengan diri mereka sendiri. kemudian hadirlah dia disaat-saat yang tepat. Pemerintah hadir dengan sejuta kata-kata manis. Kata-kata manisnya melantun menemani Masyarakat mengawali dan mengakhiri harinya. Pemerintah selalu datang, membuat Masyarakat melayang dengan wibawa dan janji-janji.


Tanpa daya, Masyarakat terpesona pada tutur kata yang disusun apik sebagai rayuan nan romantis. Masyarakat luluh secara total. Harapan telah digantungkan, kepercayaan telah diserahkan. Masyarakat tunduk atas cintanya pada Pemerintah yang membutakan. Masyarakat jatuh pada setiap janji dan tenggelam dalam setiap retorika yang meluluhkan.

Masa-masa pendekatan-yang sering disebut dengan ‘kampanye' yang menyenangkan itu terlalu memanjakan rupanya. Masyarakat dimanjakan dengan ribuan harapan.. Hingga saat paling menentukan pun tiba. Masyarakat dipinang. Selayaknya yang sedang berada dalam selubung cinta, tanpa tendeng aling-aling Masyarakat menerima pinangan Pemerintah. Pemerintah melamar dengan mahar “Katakan tidak pada korupsi”. Jadilah kini Pemerintah telah sah menjadi imam dari Masyarakat.

Masa-masa awal pernikahan mereka, semua terkesan adem ayem saja. Tidak ada gejolak yang mengkhawatirkan. Bahkan beberapa kabar gembira datang dari rumah tangga mereka. Berbagai konflik berhasil diredam, swasembada beras pun aktif kembali dan berbagai hal membahagiakan lainnya. Tahun pertama arus rumah tangga mereka masih tenang tanpa ada gejolak yang berarti. Tahun berganti tahun, dan semuanya perlahan mengalami perubahan. 5 tahun pertama diisi dengan gejolak-gejolak kecil seperti kenaikan tariff BBM (bahan bakar minyak) yang naik secara pelan tapi pasti. Masyarakat mulai terusik dengan perubahan ini. Hingga tahun-tahun selanjutnya Pemerintah mulai berubah.

Masyarakat mulai curiga ada yang tidak beres dengan Pemerintah. Pemerintah seolah-oleh bukan dirinya lagi. Masalah mulai muncul dalam rumah tangga mereka. Sebut saja skandal proyek Hambalang, belum lagi dugaan Mark Up simulator SIM,  korupsi pengandaan Al-quran, skandal suap kasus impor daging sapi, ditambah lagi masalah lumpur lapindo yang dijadikan bencana nasional sehingga Pemerintah yang harus menanggungnya. Tapi Masyarakat tetap berusaha untuk percaya bahwa Pemerintah akan membaik lagi. Tetap menaruh harapan tentang keharmonisan rumah tangga mereka. Bahkan Mayarakat tetap merasa simpati ketika Pemerintah justru meminta kenaikan gaji disaat Masyarakat sendiri sedang berada dalam kekurangan. Semua karena rasa cinta Masyarakat yang menggunung untuk Pemerintah.

Tapi yang ada malah sebaliknya harapan, kepercayaan, dan cinta Masyarakat telah disia-siakan. Masyarakat kecewa. Pemerintah telah berubah, tidak seperti Pemerintah yang dulu dikenal dengan janji-janjinya, dengan tutur katanya, dan dengan retorikanya. Masyarakat capek.

Yang Masyarakat tahu, Pemerintah sempat dekat dengan Korporasi. Beberapa kabar burung bahkan menyebutkan Pemerintah berselingkuh dengan korporasi. Semua masalah yang muncul, mulai dari hal-hal kecil seperti kenaikan harga BBM hingga hal-hal luar biasa seperti kasus Hambalang, Simulator SIM, bahkan Lumpur Lapindo adalah hasil dari Pemerintah yang menuruti setiap kata-kata yang didiktekan oleh korporasi. Tidak ada lagi cinta untuk Masyarakat, semua perhatian, kepedulian Pemerintah telah direnggut oleh Korporasi.

Sampai kapan Masyarakat harus seperti ini? Percaya begitu saja pada Pemerintah, sementara Pemerintah hanya memikirkan Korporasi. Menggantungkan harapan tinggi pada Pemerintah, sedangkan Pemerintah hanya mementingkan harapan Korporasi. Mencintai Pemerintah dengan sungguh-sungguh, sementara cinta Pemerintah hanya untuk Korporasi. Sampai kapan Masyarakat hanya bisa berdiam diri, melihat Pemerintah bercumbu dengan Korporasi? Sampai kapan Masyarakat hanya bisa kecewa, menikmati kemesraan Pemerintah dengan Korporasi? Sampai kapan?

Inikah yang namanya cinta? haruskah ada yang terluka agar yang lainnya bahagia? Bagaimana dengan konsep ‘kesetiaan’, masih berlakukah? Bahkan pada kehidupan Masyarakat, cinta Pemerintah tak lagi ada. Cinta Pemerintah telah terampas oleh Korporasi.

Saat memejamkan mata, Masyarakat membayangkan surga. Surga tempat dimana kesejahteraan bertebaran. Surga tempat dimana bahagia bertaburan. Bahagia karena mencintai Pemerintah, juga saat dicintai Pemerintah. Seperti cerita cinta sepanjang zaman, seperti kisah cinta dongeng-dongeng 1001 malam, dan seperti kisah cinta yang berakhir bahagia. Masyarakat bersyukur dipertemukan dengan Pemerintah, lalu jatuh cinta.

Namun, semakin lama memejamkan mata, bukannya senyum yang menghias wajah Masyarakat. Tapi air mata yang menetes, jatuh perlahan-lahan. Masyarakat menangis, teringat akan setiap perih yang ditorehkan, setiap luka yang digoreskan, setiap sakit yang ditancapkan oleh dusta Pemerintah. Bukan hanya sekali-dua kali. Masyarakat tetap mencoba untuk percaya, untuk berharap dan untuk mencinta.

Betapa ironisnya kehidupan Masyarakat, wahai pemerintah sayang. Pemerintah yang selalu membantu Masyarakat, kini malah menjadi sumber kesusahan terbesar Masyarakat.

#tulisan lama yang baru sempat diposting :)#

0 komentar: